Sejarah Seni dan Kebudayaan dari Masa – Kemasa – Antara 1950-1960-an, Indonesia mengalami periode intrik dan dinamika dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, era ini dilingkupi oleh pengaruh Perang Dingin, benturan ideologi, dan pengaruh kekuasaan yang signifikan terhadap dunia seni. Pada masa itu, berbagai bentuk seni seperti sastra, musik, lukisan, hingga ludruk, berubah menjadi alat penyebaran ideologi yang sangat efektif. Menariknya, intervensi politik dalam dunia seni bukanlah fenomena langka; sebaliknya, seni sering kali digunakan sebagai sarana untuk tujuan politik. Banyak yang beranggapan bahwa organisasi kesenian pada awal kemerdekaan lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik yang dominan daripada sebagai entitas kreatif yang berdiri sendiri. Dalam konteks ini, seni tidak hanya menjadi ekspresi artistik tetapi juga alat untuk memperjuangkan dan mempromosikan ideologi politik tertentu, mencerminkan bagaimana seni dan politik sering kali saling bersinggungan dalam sejarah Indonesia.
Dalam suasana kebudayaan yang semakin memanas, lahirlah Manifesto Kebudayaan atau yang dikenal oleh para anggota Lekra sebagai “Manikebu pada tahun 1963, menambah intensitas ketegangan. Diprakarsai oleh tokoh-tokoh seperti HB Jassin, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, dan pemikir lainnya, Manikebu hadir dengan semangat humanisme universal yang kuat.Setahun kemudian. Oleh karena itu, Soekarno membubarkan Manikebu karena perbedaannya dengan Manipol Negara, dipengaruhi oleh kekuatan politik dominan, khususnya Lekra. Ketegangan ideologi dan perubahan kekuasaan dalam dunia Kebudayaan Indonesia pada masa itu mencerminkan betapa seni dan politik sering kali saling terkait secara erat, mempengaruhi arah dan perkembangan seni serta kebudayaan nasional.