Sejarah Seni dan Kebudayaan dari Masa – Kemasa

Sejarah Seni dan Kebudayaan dari Masa – Kemasa – Antara 1950-1960-an, Indonesia mengalami periode intrik dan dinamika dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, era ini dilingkupi oleh pengaruh Perang Dingin, benturan ideologi, dan pengaruh kekuasaan yang signifikan terhadap dunia seni. Pada masa itu, berbagai bentuk seni seperti sastra, musik, lukisan, hingga ludruk, berubah menjadi alat penyebaran ideologi yang sangat efektif. Menariknya, intervensi politik dalam dunia seni bukanlah fenomena langka; sebaliknya, seni sering kali digunakan sebagai sarana untuk tujuan politik. Banyak yang beranggapan bahwa organisasi kesenian pada awal kemerdekaan lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik yang dominan daripada sebagai entitas kreatif yang berdiri sendiri. Dalam konteks ini, seni tidak hanya menjadi ekspresi artistik tetapi juga alat untuk memperjuangkan dan mempromosikan ideologi politik tertentu, mencerminkan bagaimana seni dan politik sering kali saling bersinggungan dalam sejarah Indonesia.

Di tengah lautan organisasi kesenian yang bermunculan, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri sebagai kekuatan dominan yang sulit ditandingi. Didirikan pada tahun 1950 oleh tokoh-tokoh visioner. Dengan tokoh-tokoh seperti D.N. Aidit dan Lukman Nyoto, Lekra cepat menarik perhatian lewat pengaruhnya di seni, pendidikan, dan kebudayaan. Keberadaan Lekra tidak hanya menciptakan gelombang besar dalam dunia seni, tetapi juga memperkuat pengaruhnya di berbagai sektor kebudayaan. Dengan jaringan yang luas dan kekuatan yang mengesankan, Lekra menciptakan standar baru dalam dunia kesenian. Dalam konteks tersebut, tidak ada organisasi kesenian lain yang mampu menandingi ukuran dan dampak yang dimiliki oleh Lekra. Keberadaannya yang megah dan pengaruhnya yang mendalam menjadikannya sebagai raksasa tak tertandingi dalam lanskap kebudayaan Indonesia pada masa itu.

Ketika Lekra berkembang pesat, muncul pula organisasi kesenian Islam seperti HSBI dan Lesbumi sebagai rival yang signifikan dalam dunia budaya. HSBI, yang didirikan pada tahun 1956 oleh H. Abdullah Aidid, memperkenalkan perspektif baru dalam arena kesenian. Sementara itu, Lesbumi, yang lahir dari organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1962, turut memberikan dampak yang mendalam pada kebudayaan nasional. Kedua organisasi ini tidak hanya memperkaya lanskap kesenian dengan pendekatan dan nilai-nilai mereka, tetapi juga menambah dinamika persaingan ideologis dalam dunia budaya. HSBI dan Lesbumi bersama-sama menghadirkan alternatif yang kuat terhadap dominasi Lekra, mengusung visi dan misi yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam dan tradisi keagamaan. Keduanya memengaruhi perkembangan seni dan budaya di Indonesia dengan cara yang signifikan, membentuk peta budaya yang lebih beragam dan kompleks. Persaingan Lekra, HSBI, dan Lesbumi menunjukkan bagaimana seni dan kebudayaan sering menjadi medan pertempuran ideologi dalam konteks sosial-politik.

Dalam suasana kebudayaan yang semakin memanas, lahirlah Manifesto Kebudayaan  atau yang dikenal oleh para anggota Lekra sebagai “Manikebu  pada tahun 1963, menambah intensitas ketegangan. Diprakarsai oleh tokoh-tokoh seperti HB Jassin, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, dan pemikir lainnya, Manikebu hadir dengan semangat humanisme universal yang kuat.Setahun kemudian. Oleh karena itu, Soekarno membubarkan Manikebu karena perbedaannya dengan Manipol Negara, dipengaruhi oleh kekuatan politik dominan, khususnya Lekra. Ketegangan ideologi dan perubahan kekuasaan dalam dunia Kebudayaan Indonesia pada masa itu mencerminkan betapa seni dan politik sering kali saling terkait secara erat, mempengaruhi arah dan perkembangan seni serta kebudayaan nasional.

Seperti bara yang membara dalam sekam, pertarungan sengit dalam ruang kebudayaan akhirnya meledak menjadi konflik struktural di antara para seniman. Konflik ini merembet mulai dari tuduhan plagiasi, pemboikotan gedung-gedung pertunjukan, hingga teror dan ancaman pembunuhan. Pertikaian ini dipengaruhi oleh ideologi politik dan konstelasi politik, menyebabkan perubahan drastis dalam Kebudayaan Indonesia pasca TAP MPRS No. 25/1966. Kini, Lekra yang dulu berkuasa, berada di bawah tekanan berat, mencerminkan bagaimana politik menghancurkan struktur artistik dan ideologi.

Cuplikan peta wacana di atas menandai momen krusial dalam sejarah kesenian dan Kebudayaan Indonesia. Namun, timbul pertanyaan penting: Apakah persaingan ruang kebudayaan ini hanya sekedar masalah masa lalu. Seberapa relevan ideologi masing-masing organisasi tersebut dalam konteks zaman sekarang. Misalnya, bagaimana pengaruhnya terhadap struktur tulisan dalam karya sastra atau pilihan warna dalam lukisan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus utama dalam diskusi Afternuun School yang menghadirkan narasumber Adhi Pandoyo.

Diskusi ini adalah sesi ke-2 program Afternuun School, dilaksanakan 11 Oktober 2022, pukul 19:00 WIB di UIN Sunan Kalijaga. Namun, acara ini bersifat gratis dan terbuka untuk umum, menawarkan kesempatan bagi peserta untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang pengaruh ideologi dalam seni dan budaya kontemporer. Jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan wawasan mendalam dalam diskusi yang menarik ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *